
Yogyakarta, 6 Mei 2025 – Meski program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) digadang-gadang sebagai jembatan antara dunia kampus dan industri, realitas di lapangan menunjukkan masih adanya kesenjangan antara kompetensi lulusan dan tuntutan kerja. Hal ini disampaikan langsung oleh sejumlah perusahaan lintas sektor dalam gelaran Job Fair Sekolah Vokasi UGM 2025 pada 7 Mei 2025 di Graha Sabha Pramana, Universitas Gadjah Mada.
Dalam sebuah kegiatan liputan dan observasi langsung, mahasiswa Program Magister Manajemen Pendidikan Tinggi (MMPT) UGM melakukan wawancara mendalam dengan beberapa perusahaan peserta job fair tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Amar Ma’ruf (24/539467/PMU/11872), Fitra Annisa Hikma (24/548223/PMU/12066), M. Syahan Irsyad (24/551879/PMU/12182), dan Pandhuri Jahyadi (24/552224/PMU/12205) ini bertujuan menggali pandangan dunia industri terhadap kesiapan lulusan perguruan tinggi. Perusahaan yang menjadi narasumber dalam kegiatan ini meliputi PT Surabaya Mekabox, Mr. DIY, dan Toyota Nasmoco, yang masing-masing mewakili sektor manufaktur, ritel, dan otomotif.
Minim Soft Skills dan Pengalaman Nyata Jadi Sorotan
Dalam wawancara tersebut, perwakilan dari PT Surabaya Mekabox menyoroti bahwa banyak lulusan masih lemah dalam keterampilan praktis dan manajerial, padahal itu menjadi kebutuhan mendesak di sektor manufaktur. “Kami melihat program magang sangat membantu. Mahasiswa yang pernah magang cenderung lebih siap secara praktis dan cepat beradaptasi,” ujar perwakilan PT Surabaya Mekabox. Ia menambahkan bahwa keterlibatan mahasiswa dalam program magang atau kerja praktik harus diperluas dan diintegrasikan secara serius dalam kurikulum.
Sementara itu, Mr. DIY, yang bergerak di bidang ritel, menekankan pentingnya fleksibilitas dalam adaptasi pekerjaan. Latar belakang jurusan dinilai bukan lagi tolok ukur utama. “Jangan terpaku pada jurusan. Kami lebih melihat kemauan belajar dan kemampuan beradaptasi cepat,” tegas perwakilan Mr. DIY.
Pengalaman Organisasi Kalahkan Prestasi Akademik
Dari sektor otomotif, Toyota Nasmoco menyoroti bahwa pengalaman organisasi selama kuliah ternyata lebih berpengaruh dalam membentuk kemampuan kerja dibanding sekadar prestasi akademik. Salah satu staf HRD yang berlatar belakang Psikologi menyampaikan bahwa keterampilan komunikasi dan koordinasi sering kali terbentuk melalui aktivitas organisasi. “Kemampuan kerja tim lebih terasah saat mahasiswa aktif di organisasi. Ini justru jarang dijangkau oleh perkuliahan formal,” ungkap Staf Toyota Nasmoco.
Kurikulum Perlu Diperbarui Secara Sistemik
Program MBKM diakui sebagai inisiatif yang relevan, namun implementasinya masih belum merata. Beberapa kampus belum memiliki jaringan kemitraan industri yang kuat. Selain itu, belum ada pengakuan formal terhadap pembelajaran non-akademik seperti pengalaman organisasi dan proyek komunitas.
Berdasarkan temuan tersebut, para peneliti merekomendasikan lima hal utama untuk perbaikan kurikulum:
- Kolaborasi aktif kampus-industri dalam pengembangan kurikulum.
- Evaluasi kurikulum secara berkala untuk menyesuaikan perkembangan dunia kerja.
- Penguatan pelatihan soft skills seperti komunikasi, kepemimpinan, dan empati.
- Program magang yang terstruktur, bukan hanya formalitas.
- Peningkatan kapasitas dosen dan fasilitas pembelajaran agar lebih kontekstual.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa transformasi kurikulum pendidikan tinggi merupakan keharusan, bukan sekadar opsi. Di tengah era disrupsi dan digitalisasi, kampus harus memastikan lulusannya tidak hanya cakap secara akademik, tetapi juga siap bekerja, berpikir adaptif, dan unggul dalam kompetensi lintas bidang.
Tags: SDG SDG 4: Pendidikan Berkualitas ; SDG 8: Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi ; SDG 9: Industri, Inovasi, dan Infrastruktur ; SDG 17: Kemitraan untuk Mencapai Tujuan
Penulis : Amar Ma’ruf; Fitra Annisa Hikma; M. Syahan Irsyad; dan Pandhuri Jahyadi
Foto : Dok. Prodi MMPT SPs UGM