Yogyakarta, 9 September 2025 – Perguruan tinggi di Indonesia menghadapi tantangan serius dalam persaingan global akibat kuatnya tradisi lisan dalam transfer pengetahuan, yang berbenturan dengan tuntutan publikasi ilmiah sebagai standar kualitas akademik internasional. Akibatnya, banyak kontribusi intelektual dosen yang mumpuni tidak terdokumentasi dan tidak terukur di panggung dunia.
Isu krusial ini menjadi sorotan utama dalam perkuliahan Teori Manajemen dan Kepemimpinan yang disampaikan oleh Prof. Dr. Wahyudi Kumorotomo, M.P.P., pada Selasa (9/9/2025). Menurutnya, tanpa reformasi sistemik, perguruan tinggi Indonesia berisiko terus tertinggal karena kontribusi akademiknya tidak terlihat di mata dunia internasional. “Kita memiliki banyak dosen dengan pengetahuan mendalam, namun budaya lisan membuat kekayaan intelektual itu seringkali berhenti di ruang kelas,” ujar Prof. Wahyudi. “Padahal, indikator utama pemeringkatan universitas dunia seperti QS dan THE sangat bergantung pada publikasi dan sitasi.”
Prof. Wahyudi menjelaskan bahwa akar budaya lisan, di mana ilmu lebih banyak disampaikan secara verbal tanpa dokumentasi tertulis yang memadai, menjadi kendala utama. Menyadari hal ini, banyak universitas kini mulai mengambil langkah progresif dengan mewajibkan dosen memiliki situs web pribadi dan mempublikasikan riset di jurnal ilmiah. “Langkah ini adalah upaya mengubah mindset dari budaya lisan ke budaya tulis. Penelitian harus dipandang sebagai kekayaan intelektual yang wajib disebarluaskan, bukan hanya pengetahuan yang disimpan sendiri,” tambahnya.
Meskipun dorongan untuk publikasi sudah ada, Prof. Wahyudi menyoroti bahwa implementasinya masih jauh dari ideal. Banyak dosen memandang publikasi sebagai beban tambahan karena menghadapi berbagai kendala signifikan di lapangan.
Hambatan tersebut mencakup:
- Beban administratif yang berlebihan.
- Minimnya dana dan alokasi waktu khusus untuk penelitian.
- Terbatasnya akses ke pelatihan metodologi riset dan penulisan akademik.
- Proses publikasi yang rumit dan birokratis.
“Kondisi ini membuat publikasi ilmiah terasa seperti paksaan, bukan bagian natural dari kehidupan seorang akademisi,” tegasnya.
Sebagai solusi, Prof. Wahyudi menyerukan adanya reformasi komprehensif dalam sistem publikasi ilmiah di Indonesia. Menurutnya, pendekatan ini harus mencakup penyederhanaan birokrasi melalui digitalisasi penuh, penguatan dukungan institusional lewat pendanaan dan program mentoring, serta pembangunan sistem insentif yang jelas bagi dosen yang produktif.
“Yang terpenting adalah perubahan kultur, dari paradigma ‘dosen yang sekadar mengajar’ menjadi ‘akademisi yang berkontribusi pada ilmu pengetahuan global’. Tanpa ini, kita akan sulit bersaing,” tutupnya. Reformasi ini diharapkan dapat membuat kontribusi intelektual akademisi Indonesia lebih terukur dan diakui di tingkat internasional.
Tags: SDG 4: Quality Education (Pendidikan Berkualitas); SDG 8: Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi (Decent Work and Economic Growth); SDG 9: Industri, Inovasi, dan Infrastruktur (Industry, Innovation, and Infrastructure); SDG 16: Perdamaian, Keadilan, dan Kelembagaan yang Tangguh (Peace, Justice, and Strong Institutions)
Penulis : Vikra Shafwa Humaira Sinambela; Berlian Belasuni
Foto : Dok. Prodi MMPT SPs UGM