Institusi pendidikan tinggi merupakan bangun organisasi yang memiliki keunikan tersendiri terutama bila dibanding dengan bentuk korporasi pada umumnya. Keunikan yang dimaksud tercermin pada tiga aspek kunci: pengelolaan organisasi, kepemimpinan strategik, dan mekanisme pertanggungjawaban publik atas kinerja yang dicapai. Bagi institusi pendidikan tinggi, keberadaan tiga aspek tersebut baru merupakan syarat perlu untuk penyelenggaraan proses pendidikan yang baik. Namun, untuk memenuhi kadar kecukupan proses peningkatan nilai tambah dan pembentukan sumberdaya manusia yang berkualitas, masih diperlukan syarat tambahan yaitu berupa sinkronisasi proses yang dicapai melalui transformasi kapasitas pengembangan keilmuan dan keteladanan diri. Hal tersebut dilakukan dengan mengelaborasi ketrampilan manajerial yang terdapat pada sosok pemimpinnya terutama dalam hal keberaniannya untuk bertindak dengan berlandaskan pada nilai-nilai luhur kehidupan berbangsa dan bernegara serta penekanannya pada prinsip etika moral serta kepatuhannya pada prinsip tata-pamong yang baik.
Sebagai suatu lembaga normatif, institusi pendidikan tinggi idealnya mampu berperan sebagai “centre of excellence” yang mengedepankan proses konstruktif dalam diri manusia dengan berpegang pada asas netralitas dan kebebasan akademik yang bertanggungjawab. Pendidikan tinggi merupakan garda depan dalam pembentukan sikap konstruktif dan mentalitas manusia sehingga mereka mampu memaknai setiap problematika kehidupan dan menawarkan alternatif solusi yang dapat dijustifikasi secara ilmiah. Dalam satu sisi, institusi pendidikan tinggi idealnya merupakan bentuk organisasi formal yang mempunyai peran besar dalam pembentukan perilaku normatif yang terbebas dari kepentingan sempit sejumlah individu atau kelompok yang hanya memperjuangkan nilai material atau bentuk aplikasi lain yang sifat kemanfaatannya terbatas.
Di sisi yang lain, dalam realitas praktis, penyelenggaraan pendidikan tinggi tidak sepenuhnya kebal terhadap pengaruh perubahan lingkungan global. Pengelolaan pendidikan tinggi kini memasuki era “post massification”, yaitu orientasi keperilakuan normatif yang seharusnya dikembangkan dalam pendidikan tinggi dalam banyak hal harus berhadapan dengan kepentingan obyektif-pragmatis sebagai respon terhadap perubahan lingkungan yang ada (Nemetz dan Cameron, 2006). Keterbukaan lingkungan ekonomi pada tataran global pada gilirannya memang telah membawa perubahan besar pada konstelasi geopolitik, dinamika sosial dan bahkan pada upaya bersama dalam menjaga keberagaman kultural. Sebagai konsekuensinya, mobilitas mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan merupakan suatu fenomena umum yang dijumpai dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi. Tantangan besar bagi penyelenggara pendidikan tinggi di era global sekarang ini adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara kaidah normatif yang selama ini menjadi ciri khas pendidikan tinggi dan orientasi institusi yang sifatnya praktikal dan bermuara pada kepentingan material.
Selain itu, perubahan lingkungan yang terjadi di tataran global juga membawa konsekuensi pada semakin kuatnya dorongan yang mengarah pada terwujudnya suatu kondisi masyarakat yang madani (civil society). Dalam konteks ini, upaya untuk mendudukan kembali peran dan fungsi institusi pendidikan tinggi memiliki tingkat urgensi tersendiri yang tidak dapat dikesampingkan begitu saja demi kepentingan mencerdaskan kehidupan bangsa. Institusi pendidikan tinggi yang berperan sebagai pemasok sumberdaya manusia yang berkualitas tidak hanya mampu merespon tantangan yang ada secara proaktif, tetapi diharapkan juga mampu menjalankan fungsi pembangunan karakter manusia Indonesia dengan menempuh langkah nyata untuk membawa perubahan lingkungan yang ada ke arah yang lebih konstruktif. Penyelenggaraan pendidikan tinggi dapat berperan sebagai kekuatan penggerak (driving force) sekaligus pula sebagai kekuatan moral (moral force) masyarakat. Implementasinya, dalam tataran praktis, perlu adanya pergeseran penekanan dalam penyelenggaran perguruan tinggi dari fungsi administrasi menuju fungsi manajemen. Itu berarti, peningkatkan profesionalisme manajerial menjadi suatu kebutuhan bagi penyelenggaraan pendidikan tinggi terutama dalam mengemban tugas Tri Dharma (pembelajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat). Lebih dari itu, institusi pendidikan tinggi sangat membutuhkan tenaga manajerial dengan bekal pengetahuan dan pemahaman (knowledge), ketrampilan (skills) yang memadai, kebijaksanaan (wisdom) serta tingkat kompetensi yang relevan.
Hanya saja, jumlah institusi di Indonesia yang mampu menyelenggarakan program pendidikan secara terstruktur dan berfokus pada peningkatan kapasitas dan kapabilitas sumberdaya manusia untuk memimpin dan mengelola pendidikan tinggi berkelas dunia masih sangat terbatas. Keterbatasan sumberdaya, tekanan kebutuhan pasar, desakan tentang akuntabilitas, pemerataan akses pendidikan, dan peningkatan biaya operasional merupakan konsideran yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi. Itu sebabnya, dengan memahami kondisi yang ada, penyelenggara pendidikan tinggi kini seolah mengalami dis-orientasi karena harus mampu memenuhi tujuan berganda (multiple objectives) namun tidak sepenuhnya saling meniadakan. Konsekuensinya, reformulasi pendekatan, metoda, dan format penyelenggaraan pendidikan tinggi kini menjadi sebuah kebutuhan agar proses pengembangan sumberdaya manusia di Indonesia mampu mengarah pada pencapaian tujuan peningkatan kualitas hidup dan kehidupan manusia secara nasional.
Lebih lanjut, kebutuhan untuk mengimplementasi prinsip-prinsip otonomi dalam pengelolaan pendidikan tinggi sesuai amanat yang tercantum dalam PP No. 66 Tahun 2010 juga dapat menjadi dasar dalam upaya untuk mendudukan kembali peran dan fungsi pendidikan tinggi sebagai agen perubahan (agent of change) dan sekaligus sebagai agen bagi pembangunan karakter bangsa. Hal itu juga sejalan dengan visi dan misi Kemendiknas seperti yang tercantum dalam Rencana Strategik Kemendiknas 2010-2014: (1) ketersediaan layanan pendidikan di seluruh wilayah nusantara (accessibility); (2) keterjangkauan layanan pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat (affordability); (3) kualitas dan relevansi layanan pendidikan dengan kebutuhan masyarakat, dunia usaha dan industri (quality); (4) kesetaraan masyarakat dengan berbagai latar belakang kehidupan untuk memperoleh layanan pendidikan (equality); dan (5) kepastian dan keterjaminan warga negara untuk mengenyam pendidikan (assurance).
Ironisnya, kondisi umum pengelolaan pendidikan tinggi yang terdapat Indonesia mengindikasi adanya disparitas antar perguruan tinggi dan antar wilayah. Kajian empiris menunjukkan bahwa kapasitas pengelolaan perguruan tinggi di Indonesia relatif masih terbatas. Evaluasi diri sejumlah besar perguruan tinggi yang mengajukan proposal dalam hibah kompetisi yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi pada kurun waktu tahun 2000-2010 mengemukakan berbagai persoalan pengelolaan yang dihadapi perguruan tinggi. Permasalahan mendasar yang dihadapi adalah masih belum memadainya kapasitas dan kapabilitas pengelola perguruan tinggi, khususnya tenaga kependidikan, dalam memaknai peran dan fungsi strategik pendidikan tinggi sebagai penopang masyarakat berbasis pengetahuan (Indostaff, 2011). Kajian tersebut mengisyaratkan bahwa kebutuhan untuk melakukan peningkatan kapasitas dan kapabilitas pengelola perguruan tinggi di Indonesia merupakan hal yang urgen untuk mendapat perhatian dan pemikiran bersama.
Mandat yang diberikan oleh Dirjen Dikti seperti tertuang dalam surat Nomor 309/E/T/2011 tertanggal 9 Maret 2011 tentang pembukaan program studi magister pendidikan tinggi menegaskan bahwa Universitas Gadjah Mada (UGM) memiliki tanggungjawab moral untuk mempersiapkan diri dan mengupayakan langkah strategik agar amanah yang diberikan oleh pemangku perintah dapat terlaksana dengan seksama. Dengan membuka Program Studi Magister Manajemen Pendidikan Tinggi (MMPT), diharapkan UGM mampu memberi bekal kepada peserta didik untuk mampu meningkatkan kapabilitasnya sebagai pelaku, manajer dan birokrat menengah dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi secara profesional dengan penekanan pada keefektivan proses pembelajaran dan reflektif terhadap kebutuhan praktis. Urgensi untuk memenuhi kebutuhan pemimpin profesional pada bidang yang dimaksud semakin dirasakan di Indonesia terutama dengan bertumbuh-kembangnya lembaga penyelenggara pendidikan dengan kualitas penyelenggaraan yang beragam, dan semakin besarnya harapan dari pihak industri serta komunitas publik terhadap keluaran hasil pembelajaran di pendidikan tinggi.
Pembekalan mengenai pengetahuan, pemahaman, pengalaman, dan ketrampilan dalam memimpin dan mengelola suatu institusi pendidikan tinggi mensyaratkan perlunya proses pembelajaran pada jenjang magister ini dilakukan secara terstruktur dengan pola pendidikan yang bersifat integratif dan multidisiplin. Untuk selanjutnya, kapasitas umum dapat dikembangkan melalui penguatan pengetahuan, pemahaman, dan ketrampilan yang terintegrasi dalam hal: (1) kapasitas memimpin suatu organisasi di bidang pendidikan tinggi; (2) kapasitas untuk menerapkan disiplin keilmuan dan teknologi yang relevan; dan (3) kapasitas beradaptasi dan berinovasi dalam penyelesaian suatu masalah serta inisiatif untuk mengambil langkah antisipatif sebagai konsekuensi terhadap perubahan situasi lingkungan pendidikan tinggi yang tidak bisa sepenuhnya diduga.
Pendidikan tinggi membutuhkan kepemimpinan yang mampu membawa perubahan institusi ke arah yang lebih baik dan sekaligus sebagai penyeimbang bagi kehidupan bernegara, industri, dan masyarakat. Sosok pemimpin (calon pemimpin) dan manajer pendidikan tinggi pada dasarnya bisa dibentuk dan dikembangkan dengan mengacu pada kaidah etika, moral, dan prinsip profesionalisme. Dengan demikian kini dirasa perlu adanya suatu program pendidikan tinggi formal untuk menyiapkan tenaga kependidikan profesional yang ditempuh melalui proses terstruktur dalam kerangka keilmuan multidisiplin.
Oleh karena itu, proses pendidikan di program studi MMPT di UGM diarahkan agar peserta didik mampu mengekplorasi kapasitas dan/atau bakat alaminya sebagai dasar untuk mengembangkan karier baik yang ditempuh di jalur akademik atau jalur non-akademik melalui pendekatan dan prinsip-prinsip kepemimpinan serta aplikasi manajemen modern pada berbagai bentuk institusi pendidikan tinggi. Tiga pilar penting yang dibutuhkan untuk mampu memimpin dan mengelola kegiatan di institusi pendidikan tinggi adalah: (1) pengelolaan sumberdaya manusia dan keuangan; (2) pengelolaan sarana dan prasarana fisik; dan (3) pengelolaan kegiatan akademik dan pengayaan informasi untuk keperluan pembelajaran, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat. Ketiga pilar yang dimaksud diarahkan untuk menghasilkan dan mengembangkan ilmu serta lulusan yang mampu mewujudkan tingkat kemakmuran, keamanan, kesejahteraan, dan perilaku berkeadilan.
Dengan demikian, kompetensi bidang ilmu yang dibutuhkan dalam pengembangan Program Studi MMPT adalah Manajemen PendidikanTinggi bersifat multi disiplin yang berinduk pada bidang ilmu-ilmu sosial (khususnya bidang ilmu Manajemen dan Psikologi) dan ilmu-ilmu eksakta, terutama bidang Teknik Arsitektur, Teknik Sipil dan Teknologi Informasi dalam aplikasinya untuk manajemen pendidikan.